Relasi Patron-client dan Mandeknya Demokrasi Substantif di Indonesia

Dari berbagai fenomena politik di Indonesia, relasi patron–client tampak sebagai pola yang paling mengakar dalam kehidupan politik maupun praktik sosial sehari-hari. Di mana pun ia diamati, relasi ini menjadi faktor dominan dalam proses politik nasional. Hal tersebut membuat saya bertanya apakah pola patron–client merupakan sesuatu yang niscaya, atau justru mencerminkan cacat dalam tata kelola pemerintahan. Apalagi, dampaknya bersifat struktural dan menjalar dari tingkat elite hingga akar rumput.

Fenomena patron–client menjadi kian paradoks karena tetap bertahan dalam era yang disebut demokrasi. Padahal, demokrasi mensyaratkan kesetaraan warga negara sebagai fondasi filosofisnya, sedangkan patron–client justru berlandaskan relasi yang hierarkis dan timpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi belum bekerja secara maksimal dalam politik Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak pakar menilai bahwa demokrasi Indonesia masih bersifat prosedural–formal dan belum mencapai tingkat substansial.

Memahami relasi patron-client
​Apa itu hubungan patron – client? Ia adalah relasi asimetris antara “patron” dalam hal ini elit, pejabat negara, dan pemilik modal yang memberikan sumber daya (kerja, perlindungan, uang, pekerjaan) kepada “client” yaitu petani, pekerja, pemilih dengan imbalan, loyalitas, dukungan politik, jasa, ataupun suara dalam pemilu. Scott menjelaskan bahwa hubungan patron client ini merupakan relasi yang bekerja dalam dimensi-dimensi informal, akan tetapi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses politik tertentu.

​Dalam artikelnya Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, James scott menjelaskan bahwa “Hubungan patron-klien bukanlah hal yang marginal, melainkan menjadi inti dari proses politik di Asia Tenggara. Hubungan ini menyediakan jembatan yang krusial antara warga desa dan arena politik nasional, serta antara komunitas lokal dan negara (Scott, 1972: 92). Tidak terkecuali di indonesia, relasi patron -client merupakan kebiasaan yang telah membudaya dalam struktur politik indonesia.

​Dalam setiap pemilu dan pilkada, relasi patron–client muncul dalam berbagai bentuk. Politik uang atau vote buying menjadi praktik yang paling umum dan memiliki dampak signifikan terhadap perilaku pemilih di berbagai daerah. Selain itu, politik bansos juga marak, ketika kandidat memberikan bantuan sosial yang kemudian ditukar dengan dukungan suara. Secara historis, pola patron–client memang berakar pada sistem politik kerajaan yang berlangsung berabad-abad, dan kolonialisme Belanda turut memperkuatnya melalui struktur kekuasaan yang hierarkis. Akibatnya, relasi patron–client tetap subur dalam praktik politik dan sosial Indonesia hingga hari ini.
​Tidak mengherankan jika masyarakat, partai politik, dan elite melihat relasi patron–client sebagai hal yang wajar dalam demokrasi Indonesia. Padahal, pola ini bertentangan dengan nilai demokrasi yang menekankan kesetaraan warga dan kedaulatan rakyat—nilai yang sering hanya menjadi slogan. Demokrasi membutuhkan warga yang rasional dan berperan aktif di ruang publik, namun kondisi saat ini belum mencerminkan itu. Antara 40–50 persen pemilih mengaku menerima uang atau hadiah selama pemilu, menunjukkan bahwa praktik pembelian suara sudah bersifat sistemik (Muhtadi, 2019). Alih-alih memilih secara rasional, banyak warga pada akhirnya terdorong oleh faktor emosional, primordial, atau transaksional seperti vote buying dan bantuan sosial.

​Di era demokrasi modern, persoalan patron–client tidak hanya berlangsung di tingkat masyarakat. Pola ini juga bekerja secara dominan dalam struktur partai politik, birokrasi, dan lembaga pemerintahan di Indonesia. Sejalan dengan analisis Vedi R. Hadiz, rekrutmen pejabat dalam birokrasi masih dipengaruhi jaringan patronase yang mengabaikan prinsip meritokrasi berbasis profesionalitas dan kompetensi. Ia menegaskan bahwa “proses desentralisasi telah mempertahankan jaringan patronase lama di bawah institusi demokratis baru. Rekrutmen dan promosi dalam birokrasi lokal sering kali dipengaruhi oleh loyalitas pribadi dan pertukaran politik daripada kinerja” (Hadiz, 2010, hlm. 88). Kondisi serupa juga terlihat dalam partai politik. Seperti dicatat Ambardi, “partai-partai di Indonesia kurang berorientasi pada program dan lebih fokus pada pembagian keuntungan; mereka merupakan alat tawar-menawar elit daripada instrumen perwakilan kebijakan” (Ambardi, 2008, hlm. 213).

​Karena patronase bekerja melalui pertukaran material, ia membuka ruang bagi perilaku koruptif, terutama ketika kontestasi elektoral menjadi mahal. Situasi struktural yang kompleks ini menyebabkan praktik korupsi di Indonesia terus berlangsung secara masif. Normalisasi relasi patron–client melalui praktik suap dan pembelian suara mendorong elite partai politik maupun birokrat terlibat dalam korupsi. Di legislatif, korupsi muncul karena anggota dewan terdesak mengembalikan modal politik yang dikeluarkan selama kontestasi. Di birokrasi, rekrutmen dan promosi jabatan lebih ditentukan oleh suap dan loyalitas politik daripada profesionalitas, sehingga memproduksi korupsi sistemik seperti mark-up anggaran dan penyelewengan perjalanan dinas.

Mengupayakan jalan keluar
Situasi yang sedemikian runyam ini mirip lingkaran setan yang tidak di ketahui cara memutusnya. Setiap unsurnya saling memperkuat dan memiliki ketergantungan. Maka dari itu, di butuhkan tindakan radikal sebagai Langkah awal memberikan hegemoni baru dalam pemaknaan atas kedaulatan dan kesetaraan warga negara dalam iklim demokrasi indonesia.

Laclau dan Mouffe dalam karya klasik mereka Hegemony and Socialist Strategy (1985) melihat politik sebagai arena hegemoni. Berbagai kelompok berjuang untuk mendefinisikan makna “public” dan “kewargaan” dalam konteks patron-client, loyalitas di bangun berdasarkan relasi yang personal, sedangkan citizenship, identitas warga di bangun berdasarkan artikulasi pemaknaan universal seperti keadilan, kesetaraan, dan partisipasi aktif publik. Dalam artian kemungkinan perubahan “rakyat sebagai client” ke “rakyat sebagai warga” membutuhkan proses hegemoni baru.
Törnquist, Olle. (2013) mengatakan bahwa demokrasi itu membutuhkan transformasi relasi patron-client menjadi hubungan sipil yang di dasarkan pada hak dan tanggungjawab, yang dapat di capai melalui partisipasi aktif warga negara dan organisasi Masyarakat sipil yang kuat. Maka dari itu, “Citizenship” sebagai sebuah nilai dapat menyokong tumbuhnya demokrasi secara substantial. Hal ini di karena “Citizenship” mendasari prinsipnya berdasarkan rasionalitas, legal, dan egaliter.
Selain di butuhkan “Citizenship” sebagai hegemoni baru dalam pemaknaan warga negara, yang harus di lakukan adalah reformasi sistem partai politik yang sangat berorientasi pada politik kartel. Langkah ini menjadi krusial, mengingat partai politik adalah elemen penting dalam demokrasi, dan partai juga merupakan entitas penting yang mendistribusikan kekuasaan. Apabila tata kelolanya tidak demokrastis dan senantiasa terjebak pada politik kartel, maka partai politik hanya akan terus menghasilkan pejabat dan elit korup.

Terakhir, dalam upaya membangun citizenship, peran intelektual dan akademisi dalam memberikan pendidikan politik menjadi sangat penting. Mereka tidak sepatutnya bersikap eksklusif atau berjarak dari masyarakat. Kehadiran media sosial yang mudah diakses dapat dimanfaatkan sebagai kanal alternatif untuk menyebarkan pendidikan politik. Karena itu, selain meneliti, intelektual dan akademisi perlu membangun reputasi serta kredibilitas di ruang digital, dan mampu mengkomunikasikan hasil penelitiannya kepada publik secara jelas dan dapat dipahami masyarakat luas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *